AbuyaDimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat. Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk Laporan Wartawan Engkos Kosasih JAKARTA - Hingga saat ini Ulama kharismatik Banten, Abuya Muhtadi Dimyati belum memberikan dukungannya kepada salah satu bakal calon di pemilihan presiden Pilpres 2024. Penjelasan ini disampaikan oleh asisten pribadi Abuya Muhtadi Dimyati, ustadz Nazaruddin. Dikutip dari Tribun Banten, Nazaruddin pun meluruskan informasi yang beredar terkait dukungan Abuya pada Kepala Badan Intelijen Negara BIN Budi Gunawan sebagai Calon Wakil Presiden Ganjar Pranowo. Menurut Nazaruddin, Abuya hanya memberikan doa saat Koordinator Nasional Barisan Relawan Ganjar- Budi Gunawan Begawan mendatangi kediaman Abuya Muhtadi Dimyati. Baca juga Ulama Banten Abuya Muhtadi Doakan Budi Gunawan "Bukan restu atau dukungan ke Budi Gunawan Cawapres. Tapi hanya mendoakan," ungkap Nazaruddin saat dihubungi Jumat 12/5/2023. Kata Nazaruddin, sudah menjadi kebiasaan Abuya Muhtadi Dimyati mendoakan warga termasuk politisi yang datang bersilaturahmi padanya. Hanya saja, tamu-tamu tersebut salah mengartikan doa dari Abuya Muhtadi Dimyati dan banyak yang memanfaatkan situasi. "Abuya hanya mendoakan, tapi suka salah kaprah. Disebut-sebut mendukung dan kadang memanfaatkan situasi juga," ujarnya. Nazaruddin kembali menegaskan bahwa pendiri pondok pesantren Roudotul Ulum Cidahu, Kabupaten Pandeglang itu belum mengambil sikap politik di Pilpres 2024. "Abuya belum ada sikap-sikap politik pada capres dan cawapres mana pun. Nanti juga kalau udah mendukung mah kaya tahun Pilpres kemarin kan," pungkasnya. Sumber Tribun Banten MuslimObsession - KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan sebutan Abuya Dimyati adalah salah satu sosok ulama karismatik yang berasal dari Banten. Beliau lahir pada tahun 1925-an. Sumber lain menyebutkan bahwa Abuya Dimyati lahir pada 1919. Abuya Dimyati sering berpesan bahwa, "Thariqah aing mah ngaji" 'tarekat saya mah mengaji'.Hal ini sejalan lurus dengan laku hidup Abuya Dimyati

Kapasitas keilmuan Abuya Muhtadi memang tidak diragukan lagi. Bahkan menurut kesaksian beberapa santri, konon Abuya Muhtadi pernah ditawari oleh Raja Salman untuk menjadi mufti di Arab Saudi, dengan iming-iming gaji perbulannya yang jika dirupiahkan mencapai miliaran rupiah. Namun beliau menolaknya dengan halus. Alasannya simpel, beliau ingin meneruskan mengajar di pondok pesantren yang ditinggalkan ayahandanya, Abuya Dimyati. 3. Mengetahui Pekerjaan Seseorang Berawal dari cerita pada tahun 2015 lalu. Ada seseorang yang merehab gedung walet. Dulunya gedung itu kosong tak terurus. Seseorang itu kebetulan mempunyai sedikit rizki untuk merehab gedung walet tersebut. Baca Juga Meski Tersentuh, 3 Bagian Tubuh Ini Tidak Membatalkan Wudhu Bagi Suami dan Istri , Ini Kata Buya Yahya Setelah itu, beberapa bulan kemudian orang tersebut berkunjung ke kediaman Abuya Muhtadi untuk sowan sekaligus meminta doa kepada beliau. Di tengah obrolannya bersama Abuya Muhtadi, Abuya tiba-tiba nyeletuk begini, "He, dia ja loba waletna, haha," dalam logat Sunda yang artinya "Hei, kamu banyak burung waletnya," kata Buya sambil tertawa diringi dengan canda. Orang tersebut terperanjat kaget, dalam benaknya bertanya-tanya ko, Buya bisa tahu kalau saya punya gedung burung walet. Orang itu kemudian penasaran dan menanyakannya kepada beberapa santri Abuya, apa Abuya pernah berkunjung di kampungnya. Alhasil tak ada satupun santri yang mengakuinya, ternyata Abuya tak pernah sama sekali berkunjung ke kampungnya. Dari situlah orang-orang menyimpulkan bahwa itu adalah salah satu karomah dari Abuya Muhtadi, yang sudah tahu sebelum diberi tahu, atau kalau dalam bahasa jawa istilahnya "weruh sekdurunge kinaweruh". Kelebihan ini diberikan oleh Allah SWT kepada orang shalih yang dekat kepada-Nya. Baca Juga Gus Miftah Hadiri Pernikahan 3 Artis Ini, Siapa Saja mereka? Yuk Simak! 4. Mengetahui Niat dan Pikiran Seseorang Diceritakan ada salah satu santri beliau di Cidahu. Santri itu begitu menggemari seorang kiyai yang bernama Kiyai Qurtubi, yakni salah satu kiyai yang menjadi bagian dari ormas FPI. Santri tersebut sering memutar audio ceramah dan pengajian-pengajian Kiyai Qurtubi. Pasalnya menurut bebarapa kabar, Abuya Muhtadi kurang sreg dengan salah satu ormas satu ini. Santri yang mengidolakan Kiyai Qurtubi itu, suatu ketika izin pamit untuk pindah ke pondok pesantren lain. Santri itu baru saja salaman dengan Abuya, tanpa diduga Abuya muhtadi mengatakan begini,

JoinFacebook to connect with Kata Kata Cinta Uci and others you may know. Abuya Kyai Haji Uci Turtusi bin Dimyati lebih dikenal sebagai Abuya Uci meninggal 6 April 2021 adalah seorang ulama dan pendakwah Muslim Indonesia yang berpengaruh dari BantenUci adalah pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah Cilongok yang menggantikan BIOGRAFI ABUYA DIMYATI CIDAHU - BANTENAlangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bilang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan. Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji mengajar ilmu, salat serta menjalankan kesunatan lainnya. Beliau lahir sekitar tahun1925 anak pasangan dari H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan adem’ dan tenteram di hati orang yang Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru “Thariqah aing mah ngaji!” Jalan saya adalah ngaji. Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al- Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang- ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal- fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri Mama Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 0300 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat – pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”.Abuya KH. Muhammad Dimyati bin KH. Amin punya putra putri dari Ibu Hj Asmah 1. KH. Muhtadi Dimyati2. KH. Murtadho Dimyati3. KH. Abdul Aziz Ka Ade4. Hj. Musfiroh5. KH. Muntaqo Dimyati6. KH. Aceng Ibu Dalalah istri Abuya punya putra putri 1. Hj. Qoyimah2. KH. MujtabaSumber AbuyaKyai Haji Uci Turtusi bin Dimyati, lebih dikenal sebagai Abuya Uci (meninggal 6 April 2021), adalah seorang ulama dan pendakwah Muslim Indonesia yang berpengaruh dari Banten. Abuya Uci Turtusi adalah pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah Cilongok yang menggantikan ayahnya, Abuya Dimyati bin Romli, yang meninggal pada awal Pronúncia deFale um novo idioma sem sacrifícios Experimente adicionar um pouco de música em seus estudos e alcance resultados incríveis.

3Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur guru Ahlusunah Wal Jama'ah. Pondoknya berada di Cidahu, Pandeglang, Banten. Pesantrennya tidak pernah sepi dari para tamu atau pencari ilmu. Kata Abuya, para kiai sepuh itu memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid yang sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian

Oleh KH Thabary Syadzily - Abuya Dimyathi Mbah Dim Banten adalah seorang sosok ulama sejati yang wara' dan zuhud. Keilmuannya benar-benar melaut alias "bahrul 'ulum", sehingga semua bidang-bidang keilmuan Islam dikuasainya dengan baik, seperti ilmu fiqih, hadits, tafsir Al-Qur'an, mantiq logika, balaghah sastra Arab, tauhid, tasawuf, ilmu falaq, dan sebagainya. Pernah beliau mengajarkan kitab "Tafsir Ibnu Jarir At-Thabari 15 jilid" sampai khatam tamat hanya dalam jangka waktu 3 tahun. Padahal ulama Jawa ketika itu, jika mampu mengkhatamkannya diperkirakan membutuhkan waktu 15 tahun, mengingat bahasa di dalam kitab tafsir itu sangat sulit dan rumit sekali. Pernah pada pangajian di malam Selasa dan alhamdulillah ketika itu saya ikut mengaji, di dalam kitab tafsir Ibnu Jarir tulisannya banyak yang tidak tercetak, kemudian langsung beliau melanjutkan tulisan yang tidak tercetak itu dengan mudah dan baik tanpa mengalami kesulitan sedikitpun juga. Itulah di antara karamah beliau. Setelah tamat pengajian kitab "Tafsir Ibnu Jarir", kemudian diganti dengan kitab "Tafsir Ibnu Abi Hatim 15 jilid". Sayang sekali baru beberapa jilid mengaji, beliau sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Pada suatu hari, dalam suatu pengajian beliau bercerita sebagai ungkapan "tahaddus bin ni'mah menceritakan nikmat Allah SWT" tentang amalan-amalan yang beliau istiqamahkan. Kata beliau "Saya mengerjakan shalat tahajjud, as-sahar tidak tidur di malam hari dengan menghidupkan sepanjang malam dengan mengajarkan kitab-kitab kepada santri, shalat, dan ibadah-ibadah lainnya, dan "shaum ad-dahri" atau puasa sepanjang tahun kecuali 5 hari yang diharamkan puasa dimulai sejak umur sebelum baligh sekitar 10 tahun sampai sekarang". Subhanallah. Bagaimana dengan kita? Beliau sangat menghormat dan menghargai pemerintah dan tidak pernah mencela dan merendahkan pemerintah apalagi di pemerintahan yang ada ulamanya. Padahal, beliau pernah dizholimi oleh pemerintah bahkan dipenjara karena difitnah, tapi beliau tidak membalasnya dan beliau pasrahkan masalahnya kepada Allah SWT. Waktu di penjara, beliau sangat rajin beribadah, terutama shalat di malam hari. Bahkan beliau berkata Ibadah yang paling nikmat adalah ibadah di penjara. Saya sangat kesal dan kecewa sekali ketika sedang nikmati-nikmatnya mengerjakan shalat sunnah, tiba-tiba ada bunyi ayam kokok "kongkorongooook" menandakan tibanya menjelang awal waktu shubuh. Kita kehilangan beliau, ulama sejati yang wara', zuhud dan bahrul 'ulum. Do'a beliau sangat tajam sekali, karena beliau "Sang Waliyullah" yang banyak karamahnya. Alhamdulillah saya sering menyaksikan langsung karamah beliau. Semoga Allah SWT menerima semua amal shalih beliau dan Dia menempatkannya di surga! Al-Fatihah. [ KataAbuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat. Abuya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu, Pandeglang, Banten sekitar tahun 1965, dan telah banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin Ja'far Assegaf Jakarta – Pakar filologi Islam, Ahmad Ginanjar Sya’ban mengungkap fakta baru tentang sosok ulama besar Sunda, KH. Muhammad Dimyathi b. Muhammad Amin atau dikenal dengan Abuya Dimyathi Ginanjar, selain memiliki kepakaran dalam bidang keilmuan fikih, alat, dan tasawuf, sosok Abuya Dimyathi Cidahu juga memiliki kepakaran dalam bidang ilmu qira’at al-Qur’an.“Kepakaran Abuya Dimyathi Cidahu dalam bidang ilmu qira’at al-Qur’an ini tercermin dari salah satu karya beliau, yaitu al-Tabsyîr fî Sanad al-Taisîr,” ungkap Ginanjar Sya’ban dalam tulisannya yang diunggah di akun Facebooknya, dikutip Sabtu 19/9/2020.Sebagaimana tersirat dari judulnya, risalah “al-Tabsyîr” memuat transmisi keilmuan dan genealogi intelektual sanad periwayatan Abuya Dimyathi Cidahu atas ilmu Qira’at Tujuh al-Qirâ’ât al-Sab’ah dari kitab “al-Taisîr fî al-Qirâ’ât al-Sab’ah” karya seorang ulama besar ilmu qira’at al-Qur’an dunia Islam yang hidup di abad ke-5 Hijri, yaitu al-Imâm Ibn Amr al-Dânî w. 444 H/ .Dalam pengantarnya, Abuya Dimyathi Cidahu menulisAmmâ ba’du. Maka berkatalah Muhammad Dimyathi anak dari Muhammad Amin al-Bantani. Tidak diragukan lagi bahwa ibadah yang dapat medekatkan kita kepada Allah, ibadah yang terbilang sangat penting, ibadah yang paling dianjurkan setelah ibadah-ibadah wajib adalah menekuni ilmu pengetahuan, berdzikir, dan juga membaca al-Qur’an di setiap waktu.Dikatakan oleh Abuya Dimyathi, bahwa setiap amalan harus memiliki pondasi ilmu pengetahuan yang kokoh. Karena itu, menuntut ilmu wajib hukumnya bagi seorang Dimyathi sendiri belajar ilmu qira’at al-Qur’an dari Kiyai Dalhar Watucongol Magelang, Jawa Tengah, w. 1959, yang terkenal sebagai salah satu ulama besar pada kemudian hari, Abuya Dimyathi mengajarkan ilmu qira’at al-Qur’an kepada anak-anak dan santri-santri beliau. Hal ini sebagaimana ditulis oleh Abuya Dimyathi dalam pengantar risalah “al-Tabsyîr”.Aku mengajarkan kepada anak-anakku dan kolega-kolegaku kitab “al-Taisîr” karangan Imam Abû Amrû Utsmân al-Dânî, seorang guru besar bidang ilmu qira’at al-Qur’an dalam qira’at tujuh [qira’ah sab’ah], juga nazhaman atas kitab “al-Taisîr” yang berjudul “Hirz al-Amânî wa Wajh al-Tihânî” karya Imam al-Syâthibî, yang juga dikenal dengan kitab “al-Manzhûmah al-Syâthibiyyah al-Lâmiyyah” yang disusun dalam bahr [metrum puisi Arab] “thawîl”Guru mengaji ilmu qira’at Abuya Dimyathi Cidahu, kata Ginanjar adalah KH. Dalhar Watucongol, mengambil jalur transmisi intelektual sanad keilmuan dalam bidang ini dari Syaikh Muhammad Mahfûzh b. Abdullâh al-Tarmasî al-Jâwî al-Makkî Syaikh Mahfuzh Tremas, w. 1920, seorang ulama besar madzhab Syafi’i yang mengajar di Makkah dan berasal dari Tremas, Pacitan, Jawa Timur.“Seorang sahabat, Muhammad Abid Muaffan sang santri kelana, memperlihatkan kepada saya naskah kitab ini beberapa waktu yang lalu,” ujar ini sanad lengkap ilmu qira’at Abuya Dimyathi yang berhasil dihimpun Ginanjar Sya’ban sebagaimana terdapat dalam “al-Tabsyîr”Maka aku [Abuya Dimyathi Cidahu] berkata aku meriwayatkan kitab-kitab karangan Aku meriwayatkan kitab-kitab karangan Imam Abû Amrû al-Dânî, di antaranya adalah kitab ini, yaitu “al-Taisîr”, juga kitab-kitab karangan Imam Syâthibî, di antaranya adalah kitab “al-Manzhûmah al-Syâthibiyyah”, juga kitab-kitab karangan Imam Ibn al-Jazarî, di antaranya adalah kitab “al-Nasyr”, yaitu dari 1 Syaikh Muhammad Nahrâwî b. Syaikh Abd al-Rahmân yang terkenal dengan nama Syaikh Dalhar Magelang Kiyai Dalhar Watucongol, beliau dari 2 Syaikh Muhammad Mahfûzh al-Tarmasî al-Makkî Syaikh Mahfuzh Tremas, beliau dari 3 Syaikh al-Muqrî Muhammad al-Syarbînî, beliau dari 4 Syaikh Ahmad al-Lakhbûth, beliau dari 5 Syaikh Muhammad Syathâ, beliau dari 6 Syaikh Hasan b. Ahmad al-Awâdilî, beliau dari 7 Syaikh Ahmad b. Abd al-Rahmân al-Basyîhî, beliau dari 8 Syaikh Abd al-Rahmân al-Syâfi’î, beliau dari 9 Syaikh Ahmad b. Umar al-Isqâthî, beliau dari 10 Syaikh Sulthân b. Ahmad al-Mazâjî, beliau dari 11 Syaikh Saif al-Dîn Athâ al-Fudhâlî, beliau dari 12 Syaikh Syahhâdzah al-Yamanî, beliau dari 13 Nâshir al-Dîn al-Thablâwî, beliau dari 14 Syaikh al-Islâm Zakariyâ al-Anshârî, beliau dari 15 Syaikh Abû al-Na’îm Radhawât al-Uqbî, beliau dari 16 Syaikh Muhammad b. Muhammad al-Jazarî, pengarang kitab “al-Nasyr”, beliau dari 17 Syaikh Abû Muhammad Abd al-Rahmân b. Ahmad b. Alî al-Baghdâdî al-Syâfi’î, beliau dari 18 Syaikh Abû Abdillâh Muhammad b. Ahmad b. Abd al-Khâliq al-Shâigh, beliau dari 19 Abû al-Hasan Alî b. Syujâ’ al-Mishrî al-Syâfi’î, beliau dari 20 Imam Abû Muhammad Qâsim al-Syâthibî, pengarang kitab “al-Syâthibiyyah”, beliau dari 21 Abû al-Hasan Alî al-Andalusî, beliau dari 22 Syaikh Abû Dâwûd Sulaimân, beliau dari 23 Syaikh Abû Amrû Utsmân al-Dânî, pengarang kitab “al-Taisîr”Sang pengarang kitab “al-Taisîr”, yaitu Syaikh Abû Amrû al-Dânî, mengambil transmisi keilmuan dari 24 Syaikh Thâhir b. Ghalbûn, beliau dari 25 Abû al-Hasan Alî b. Dâwûd al-Hâsyiimî, beliau dari 26 Syaikh Abû al-Abbâs al-Asynânî, beliau dari 27 Abû Muhammad Ubaid b. al-Shabbâh, beliau dari 28 Imam Hafsh, beliau dari 29 Imam Âshim, beliau dari 30 Abdullâh b. Habîb al-Sulamî, beliau dari 31 Sahabat Abdullâh b. Mas’ûd, beliau dari 32 Rasulullah SAW. Hidayatuna/MK Abuyadimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat. Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah
Jakarta- - Ideologi Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam. Sebaliknya, ideologi Pancsila justru lahir dari saripati Islam. Pancasila merupakan kesepakatan bersama kalimatun sawa yang menjadi ideologi pemersatu banyak suku, agama, ras, dan sekaligus Filolog Islam Nusantara, Ahmad Ginanjar Sya'ban, mengatakan, terdapat banyak bukti sejarah menunjukkan ulama menyebut mencintai Tanah Air tidak berbeda dengan mencintai agama. Ajaran itu yang terus dipegang hingga saat ini, sehingga umat Islam di Indonesia selalu mempertahankan ideologi tersebut dapat dilihat dari jejak atau manuskrip sejarah Islam yang membahas kecintaan pada negara dan agama. Hal itu ditulis guru para ulama Indonesia, Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, pada akhir abad jugaMahfud MD Bertemu Ketum PBNU, Bahas Politik Inspiratif di Pemilu 2024Dari manuskrip yang ditemukan menunjukkan, jauh sebelum semua orang membahas hal tersebut, Syaikhona Kholil Bangkalan telah menulis hubbul auton minal iman mencintai Tanah Air sebagian dari iman."Bukti lainnya bahwa pada 1916, atau 12 tahun sebelum Sumpah Pemuda didengungkan 1928, KH Abdul Wahab Chasbullah dan beberapa ulama tradisionalis lainnya di Surabaya mendirikan sebuah perkumpulan organisasi bernama Syubbanul wathon atau pemuda Tanah Air," kata Ginanjar dalam sebuah video yang ditayangkan BPIP, dikutip Sabtu 27/5/2023.Dalam pendirian organisasi tersebut, Kiai Wahab telah mendengungkan cinta Tanah Air melalui mars organisasi. Bukti lain yang memperkuat jejak Pancasila dalam sejarah Islam di Indonesia adalah manuskrip tersebut dalam bentuk kitab berbahasa Sunda-pegon yang diterbitkan di Purwakarta berjudul Nadhom Pancasila. Dalam nadhom itu diterangkan Pancasila adalah falsafah dan dasar negara yang sudah selaras dengan Al-Qur'an dan hadits Rasulullah puncak perjuangan ulama dalam mempertahankan ideologi Pancasila terjadi pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo 1983. Pada acara Munas itu, para ulama bersepakat untuk menerima ideologi Pancasila sebagai asas tunggal Negara Kesatuan Republik salah satu butir yang dihasilkan dalam Munas itu, disebutkan penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam untuk menjalankan syariat."Munas ini juga menentukan posisi Pancasila sebagai ideologi bangsa tidak bertentangan dengan agama Islam," kata ulama asal Pandeglang Banten, KH Abuya Muhtadi bin KH Abuya Dimyati, mengatakan, Pancasila merupakan wasiat para orang tua terdahulu atau para pendiri bangsa agar diamalkan. Dengan begitu, bangsa Indonesia hidup rukun, damai, dan sejahtera."Pancasila itu wasiat orang tua kita. Harus dijaga dan diamalkan," kata Abuya Muhtadi.ori
mFOxk.
  • 0pi71ljjb1.pages.dev/131
  • 0pi71ljjb1.pages.dev/123
  • 0pi71ljjb1.pages.dev/389
  • 0pi71ljjb1.pages.dev/378
  • 0pi71ljjb1.pages.dev/226
  • 0pi71ljjb1.pages.dev/125
  • 0pi71ljjb1.pages.dev/166
  • 0pi71ljjb1.pages.dev/330
  • 0pi71ljjb1.pages.dev/292
  • kata kata abuya dimyati