Kapasitas keilmuan Abuya Muhtadi memang tidak diragukan lagi. Bahkan menurut kesaksian beberapa santri, konon Abuya Muhtadi pernah ditawari oleh Raja Salman untuk menjadi mufti di Arab Saudi, dengan iming-iming gaji perbulannya yang jika dirupiahkan mencapai miliaran rupiah. Namun beliau menolaknya dengan halus. Alasannya simpel, beliau ingin meneruskan mengajar di pondok pesantren yang ditinggalkan ayahandanya, Abuya Dimyati. 3. Mengetahui Pekerjaan Seseorang Berawal dari cerita pada tahun 2015 lalu. Ada seseorang yang merehab gedung walet. Dulunya gedung itu kosong tak terurus. Seseorang itu kebetulan mempunyai sedikit rizki untuk merehab gedung walet tersebut. Baca Juga Meski Tersentuh, 3 Bagian Tubuh Ini Tidak Membatalkan Wudhu Bagi Suami dan Istri , Ini Kata Buya Yahya Setelah itu, beberapa bulan kemudian orang tersebut berkunjung ke kediaman Abuya Muhtadi untuk sowan sekaligus meminta doa kepada beliau. Di tengah obrolannya bersama Abuya Muhtadi, Abuya tiba-tiba nyeletuk begini, "He, dia ja loba waletna, haha," dalam logat Sunda yang artinya "Hei, kamu banyak burung waletnya," kata Buya sambil tertawa diringi dengan canda. Orang tersebut terperanjat kaget, dalam benaknya bertanya-tanya ko, Buya bisa tahu kalau saya punya gedung burung walet. Orang itu kemudian penasaran dan menanyakannya kepada beberapa santri Abuya, apa Abuya pernah berkunjung di kampungnya. Alhasil tak ada satupun santri yang mengakuinya, ternyata Abuya tak pernah sama sekali berkunjung ke kampungnya. Dari situlah orang-orang menyimpulkan bahwa itu adalah salah satu karomah dari Abuya Muhtadi, yang sudah tahu sebelum diberi tahu, atau kalau dalam bahasa jawa istilahnya "weruh sekdurunge kinaweruh". Kelebihan ini diberikan oleh Allah SWT kepada orang shalih yang dekat kepada-Nya. Baca Juga Gus Miftah Hadiri Pernikahan 3 Artis Ini, Siapa Saja mereka? Yuk Simak! 4. Mengetahui Niat dan Pikiran Seseorang Diceritakan ada salah satu santri beliau di Cidahu. Santri itu begitu menggemari seorang kiyai yang bernama Kiyai Qurtubi, yakni salah satu kiyai yang menjadi bagian dari ormas FPI. Santri tersebut sering memutar audio ceramah dan pengajian-pengajian Kiyai Qurtubi. Pasalnya menurut bebarapa kabar, Abuya Muhtadi kurang sreg dengan salah satu ormas satu ini. Santri yang mengidolakan Kiyai Qurtubi itu, suatu ketika izin pamit untuk pindah ke pondok pesantren lain. Santri itu baru saja salaman dengan Abuya, tanpa diduga Abuya muhtadi mengatakan begini,
JoinFacebook to connect with Kata Kata Cinta Uci and others you may know. Abuya Kyai Haji Uci Turtusi bin Dimyati lebih dikenal sebagai Abuya Uci meninggal 6 April 2021 adalah seorang ulama dan pendakwah Muslim Indonesia yang berpengaruh dari BantenUci adalah pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah Cilongok yang menggantikan BIOGRAFI ABUYA DIMYATI CIDAHU - BANTENAlangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bilang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jamaâah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan. Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji mengajar ilmu, salat serta menjalankan kesunatan lainnya. Beliau lahir sekitar tahun1925 anak pasangan dari H. Amin dan Hj. Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ademâ dan tenteram di hati orang yang Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syariâah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhuâ, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurraâ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qurâan sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qurâan dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru âThariqah aing mah ngaji!â Jalan saya adalah ngaji. Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al- Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulamaâu waratsatul anbiyaâ, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabiâin diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah âJangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umurâ. Pesan ini sering diulang- ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal- fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qurâan dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri Mama Sempur, Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang kitab banyakâ. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan Mbah Dim Bantenâ dan mendapat laqob Sulthon Auliaâ, karena Abuya memang wiraâi dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Syaâban 1424 H, sekitar pukul 0300 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat â pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, âpernikahanâ dan âpemakamanâ.Abuya KH. Muhammad Dimyati bin KH. Amin punya putra putri dari Ibu Hj Asmah 1. KH. Muhtadi Dimyati2. KH. Murtadho Dimyati3. KH. Abdul Aziz Ka Ade4. Hj. Musfiroh5. KH. Muntaqo Dimyati6. KH. Aceng Ibu Dalalah istri Abuya punya putra putri 1. Hj. Qoyimah2. KH. MujtabaSumber AbuyaKyai Haji Uci Turtusi bin Dimyati, lebih dikenal sebagai Abuya Uci (meninggal 6 April 2021), adalah seorang ulama dan pendakwah Muslim Indonesia yang berpengaruh dari Banten. Abuya Uci Turtusi adalah pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Al-Istiqlaliyah Cilongok yang menggantikan ayahnya, Abuya Dimyati bin Romli, yang meninggal pada awal ďťżPronĂşncia deFale um novo idioma sem sacrifĂcios Experimente adicionar um pouco de mĂşsica em seus estudos e alcance resultados incrĂveis.3Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur guru Ahlusunah Wal Jama'ah. Pondoknya berada di Cidahu, Pandeglang, Banten. Pesantrennya tidak pernah sepi dari para tamu atau pencari ilmu. Kata Abuya, para kiai sepuh itu memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid yang sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian
Oleh KH Thabary Syadzily - Abuya Dimyathi Mbah Dim Banten adalah seorang sosok ulama sejati yang wara' dan zuhud. Keilmuannya benar-benar melaut alias "bahrul 'ulum", sehingga semua bidang-bidang keilmuan Islam dikuasainya dengan baik, seperti ilmu fiqih, hadits, tafsir Al-Qur'an, mantiq logika, balaghah sastra Arab, tauhid, tasawuf, ilmu falaq, dan sebagainya. Pernah beliau mengajarkan kitab "Tafsir Ibnu Jarir At-Thabari 15 jilid" sampai khatam tamat hanya dalam jangka waktu 3 tahun. Padahal ulama Jawa ketika itu, jika mampu mengkhatamkannya diperkirakan membutuhkan waktu 15 tahun, mengingat bahasa di dalam kitab tafsir itu sangat sulit dan rumit sekali. Pernah pada pangajian di malam Selasa dan alhamdulillah ketika itu saya ikut mengaji, di dalam kitab tafsir Ibnu Jarir tulisannya banyak yang tidak tercetak, kemudian langsung beliau melanjutkan tulisan yang tidak tercetak itu dengan mudah dan baik tanpa mengalami kesulitan sedikitpun juga. Itulah di antara karamah beliau. Setelah tamat pengajian kitab "Tafsir Ibnu Jarir", kemudian diganti dengan kitab "Tafsir Ibnu Abi Hatim 15 jilid". Sayang sekali baru beberapa jilid mengaji, beliau sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Pada suatu hari, dalam suatu pengajian beliau bercerita sebagai ungkapan "tahaddus bin ni'mah menceritakan nikmat Allah SWT" tentang amalan-amalan yang beliau istiqamahkan. Kata beliau "Saya mengerjakan shalat tahajjud, as-sahar tidak tidur di malam hari dengan menghidupkan sepanjang malam dengan mengajarkan kitab-kitab kepada santri, shalat, dan ibadah-ibadah lainnya, dan "shaum ad-dahri" atau puasa sepanjang tahun kecuali 5 hari yang diharamkan puasa dimulai sejak umur sebelum baligh sekitar 10 tahun sampai sekarang". Subhanallah. Bagaimana dengan kita? Beliau sangat menghormat dan menghargai pemerintah dan tidak pernah mencela dan merendahkan pemerintah apalagi di pemerintahan yang ada ulamanya. Padahal, beliau pernah dizholimi oleh pemerintah bahkan dipenjara karena difitnah, tapi beliau tidak membalasnya dan beliau pasrahkan masalahnya kepada Allah SWT. Waktu di penjara, beliau sangat rajin beribadah, terutama shalat di malam hari. Bahkan beliau berkata Ibadah yang paling nikmat adalah ibadah di penjara. Saya sangat kesal dan kecewa sekali ketika sedang nikmati-nikmatnya mengerjakan shalat sunnah, tiba-tiba ada bunyi ayam kokok "kongkorongooook" menandakan tibanya menjelang awal waktu shubuh. Kita kehilangan beliau, ulama sejati yang wara', zuhud dan bahrul 'ulum. Do'a beliau sangat tajam sekali, karena beliau "Sang Waliyullah" yang banyak karamahnya. Alhamdulillah saya sering menyaksikan langsung karamah beliau. Semoga Allah SWT menerima semua amal shalih beliau dan Dia menempatkannya di surga! Al-Fatihah. [ KataAbuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat. Abuya Dimyati merintis pesantren di desa Cidahu, Pandeglang, Banten sekitar tahun 1965, dan telah banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin Ja'far Assegaf Jakarta â Pakar filologi Islam, Ahmad Ginanjar Syaâban mengungkap fakta baru tentang sosok ulama besar Sunda, KH. Muhammad Dimyathi b. Muhammad Amin atau dikenal dengan Abuya Dimyathi Ginanjar, selain memiliki kepakaran dalam bidang keilmuan fikih, alat, dan tasawuf, sosok Abuya Dimyathi Cidahu juga memiliki kepakaran dalam bidang ilmu qiraâat al-Qurâan.âKepakaran Abuya Dimyathi Cidahu dalam bidang ilmu qiraâat al-Qurâan ini tercermin dari salah satu karya beliau, yaitu al-TabsyĂŽr fĂŽ Sanad al-TaisĂŽr,â ungkap Ginanjar Syaâban dalam tulisannya yang diunggah di akun Facebooknya, dikutip Sabtu 19/9/2020.Sebagaimana tersirat dari judulnya, risalah âal-TabsyĂŽrâ memuat transmisi keilmuan dan genealogi intelektual sanad periwayatan Abuya Dimyathi Cidahu atas ilmu Qiraâat Tujuh al-Qirââât al-Sabâah dari kitab âal-TaisĂŽr fĂŽ al-Qirââât al-Sabâahâ karya seorang ulama besar ilmu qiraâat al-Qurâan dunia Islam yang hidup di abad ke-5 Hijri, yaitu al-Imâm Ibn Amr al-DânĂŽ w. 444 H/ .Dalam pengantarnya, Abuya Dimyathi Cidahu menulisAmmâ baâdu. Maka berkatalah Muhammad Dimyathi anak dari Muhammad Amin al-Bantani. Tidak diragukan lagi bahwa ibadah yang dapat medekatkan kita kepada Allah, ibadah yang terbilang sangat penting, ibadah yang paling dianjurkan setelah ibadah-ibadah wajib adalah menekuni ilmu pengetahuan, berdzikir, dan juga membaca al-Qurâan di setiap waktu.Dikatakan oleh Abuya Dimyathi, bahwa setiap amalan harus memiliki pondasi ilmu pengetahuan yang kokoh. Karena itu, menuntut ilmu wajib hukumnya bagi seorang Dimyathi sendiri belajar ilmu qiraâat al-Qurâan dari Kiyai Dalhar Watucongol Magelang, Jawa Tengah, w. 1959, yang terkenal sebagai salah satu ulama besar pada kemudian hari, Abuya Dimyathi mengajarkan ilmu qiraâat al-Qurâan kepada anak-anak dan santri-santri beliau. Hal ini sebagaimana ditulis oleh Abuya Dimyathi dalam pengantar risalah âal-TabsyĂŽrâ.Aku mengajarkan kepada anak-anakku dan kolega-kolegaku kitab âal-TaisĂŽrâ karangan Imam AbĂť AmrĂť Utsmân al-DânĂŽ, seorang guru besar bidang ilmu qiraâat al-Qurâan dalam qiraâat tujuh [qiraâah sabâah], juga nazhaman atas kitab âal-TaisĂŽrâ yang berjudul âHirz al-AmânĂŽ wa Wajh al-TihânĂŽâ karya Imam al-SyâthibĂŽ, yang juga dikenal dengan kitab âal-ManzhĂťmah al-Syâthibiyyah al-Lâmiyyahâ yang disusun dalam bahr [metrum puisi Arab] âthawĂŽlâGuru mengaji ilmu qiraâat Abuya Dimyathi Cidahu, kata Ginanjar adalah KH. Dalhar Watucongol, mengambil jalur transmisi intelektual sanad keilmuan dalam bidang ini dari Syaikh Muhammad MahfĂťzh b. Abdullâh al-TarmasĂŽ al-JâwĂŽ al-MakkĂŽ Syaikh Mahfuzh Tremas, w. 1920, seorang ulama besar madzhab Syafiâi yang mengajar di Makkah dan berasal dari Tremas, Pacitan, Jawa Timur.âSeorang sahabat, Muhammad Abid Muaffan sang santri kelana, memperlihatkan kepada saya naskah kitab ini beberapa waktu yang lalu,â ujar ini sanad lengkap ilmu qiraâat Abuya Dimyathi yang berhasil dihimpun Ginanjar Syaâban sebagaimana terdapat dalam âal-TabsyĂŽrâMaka aku [Abuya Dimyathi Cidahu] berkata aku meriwayatkan kitab-kitab karangan Aku meriwayatkan kitab-kitab karangan Imam AbĂť AmrĂť al-DânĂŽ, di antaranya adalah kitab ini, yaitu âal-TaisĂŽrâ, juga kitab-kitab karangan Imam SyâthibĂŽ, di antaranya adalah kitab âal-ManzhĂťmah al-Syâthibiyyahâ, juga kitab-kitab karangan Imam Ibn al-JazarĂŽ, di antaranya adalah kitab âal-Nasyrâ, yaitu dari 1 Syaikh Muhammad NahrâwĂŽ b. Syaikh Abd al-Rahmân yang terkenal dengan nama Syaikh Dalhar Magelang Kiyai Dalhar Watucongol, beliau dari 2 Syaikh Muhammad MahfĂťzh al-TarmasĂŽ al-MakkĂŽ Syaikh Mahfuzh Tremas, beliau dari 3 Syaikh al-MuqrĂŽ Muhammad al-SyarbĂŽnĂŽ, beliau dari 4 Syaikh Ahmad al-LakhbĂťth, beliau dari 5 Syaikh Muhammad Syathâ, beliau dari 6 Syaikh Hasan b. Ahmad al-AwâdilĂŽ, beliau dari 7 Syaikh Ahmad b. Abd al-Rahmân al-BasyĂŽhĂŽ, beliau dari 8 Syaikh Abd al-Rahmân al-SyâfiâĂŽ, beliau dari 9 Syaikh Ahmad b. Umar al-IsqâthĂŽ, beliau dari 10 Syaikh Sulthân b. Ahmad al-MazâjĂŽ, beliau dari 11 Syaikh Saif al-DĂŽn Athâ al-FudhâlĂŽ, beliau dari 12 Syaikh Syahhâdzah al-YamanĂŽ, beliau dari 13 Nâshir al-DĂŽn al-ThablâwĂŽ, beliau dari 14 Syaikh al-Islâm Zakariyâ al-AnshârĂŽ, beliau dari 15 Syaikh AbĂť al-NaâĂŽm Radhawât al-UqbĂŽ, beliau dari 16 Syaikh Muhammad b. Muhammad al-JazarĂŽ, pengarang kitab âal-Nasyrâ, beliau dari 17 Syaikh AbĂť Muhammad Abd al-Rahmân b. Ahmad b. AlĂŽ al-BaghdâdĂŽ al-SyâfiâĂŽ, beliau dari 18 Syaikh AbĂť Abdillâh Muhammad b. Ahmad b. Abd al-Khâliq al-Shâigh, beliau dari 19 AbĂť al-Hasan AlĂŽ b. Syujââ al-MishrĂŽ al-SyâfiâĂŽ, beliau dari 20 Imam AbĂť Muhammad Qâsim al-SyâthibĂŽ, pengarang kitab âal-Syâthibiyyahâ, beliau dari 21 AbĂť al-Hasan AlĂŽ al-AndalusĂŽ, beliau dari 22 Syaikh AbĂť DâwĂťd Sulaimân, beliau dari 23 Syaikh AbĂť AmrĂť Utsmân al-DânĂŽ, pengarang kitab âal-TaisĂŽrâSang pengarang kitab âal-TaisĂŽrâ, yaitu Syaikh AbĂť AmrĂť al-DânĂŽ, mengambil transmisi keilmuan dari 24 Syaikh Thâhir b. GhalbĂťn, beliau dari 25 AbĂť al-Hasan AlĂŽ b. DâwĂťd al-HâsyiimĂŽ, beliau dari 26 Syaikh AbĂť al-Abbâs al-AsynânĂŽ, beliau dari 27 AbĂť Muhammad Ubaid b. al-Shabbâh, beliau dari 28 Imam Hafsh, beliau dari 29 Imam Ăshim, beliau dari 30 Abdullâh b. HabĂŽb al-SulamĂŽ, beliau dari 31 Sahabat Abdullâh b. MasâĂťd, beliau dari 32 Rasulullah SAW. Hidayatuna/MK Abuyadimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat. Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah